Selasa, 26 Oktober 2010

Urgensi Pendidikan Pluralisme

http://harianjoglosemar.com
Bersama kita bisa,” hanya berhenti di slogan. Kita justru bersama itu yang tidak bisa, karena tidak ada upaya yang konkret dari bangsa ini untuk menyadari perbedaan sebagai perbedaan.
Budaya Indonesia yang kaya warna dan “terbuka” pada hakikatnya mudah diinfiltrasi oleh budaya luar. Penetrasi budaya global terhadap kebhinekaan budaya, etnis dan agama jelas mengandung potensi konflik yang bisa melemahkan ketahanan sosial dan budaya. Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat plural yang instabilitas dan rawan disintegrasi. Namun sejak Sumpah Pemuda 28 Oktober, bangsa ini sudah yakin bahwa pluralisme Indonesia baik-baik saja, dan ditambah dengan gerakan penyatuan bangsa yang keliru. Gagasan berbeda tapi satu jua hanya jadi slogan, semuanya menjadi sentralistik, dan kurang menghargai hakikat perbedaan.


“Bersama kita bisa,” hanya berhenti di slogan. Kita justru bersama itu yang tidak bisa, karena tidak ada upaya yang konkret dari bangsa ini untuk menyadari perbedaan sebagai perbedaan. Kesadaran penyatuan merupakan kesadaran semu, jika terjadi konflik dan pertikaian yang kembali ditonjolkan perbedaan. Bahkan sebagian dengan sadar mengedepankan aspek perbedaan suku, agama, ras, golongan untuk kepentingan politik dan pribadi. Apa yang kita amati bersama justru perbedaan selalu dikedepankan, cenderung dipelihara untuk kepentingan-kepentingan tertentu.  
Pembiaran bahwa seolah tidak ada masalah dengan perbedaan kita, serta kebinekaan kita mengakibatkan rendahnya partisipasi publik dalam mengimplementasi prinsip kebersamaan “duduk sama rendah berdiri sama tinggi“. Hal ini juga berlaku bagi kebijakan Negara, khususnya dalam menghadapi konflik hanya mengedepankan memadamkan api, tanpa melakukan analisis mengapa terjadi kebakaran (konflik).
Relasi kebijakan ini jelas terlihat dalam dinamika di perguruan tinggi. Sangat sedikit sekali kebijakan negara yang mendukung perguruan tinggi untuk melakukan kajian dan gerakan perdamaian, rekonsiliasi dan pluralisme. Seolah relasi negara kekuasaan dan kesatuan merupakan tugas utama yang diemban oleh TNI dan Polri saja.   
Selama ini peran pendidikan sangat jauh merefleksikan upaya nyata untuk menyadarkan masyarakat bahwa kita ini memang berbeda, konsekuensi berbeda dan toleransi menerima perbedaan itu secara penuh. Pendidikan multikultural, pluralisme, perdamaian dan rekonsiliasi dianggap sepi. Sedikit sekali diskursus mahasiswa dan dosen  di kampus terhadap konsep pluralisme dan perdamaian.
Peran apa yang bisa mendekatkan jarak antara kampus sebagai pusat pembelajaran dalam menghadapi problem konflik dan perdamaian di Indonesia? Menurut hemat saya ada beberapa aspek yang bisa dilakukan perguruan tinggi, dosen dan mahasiswa.
Pertama, memasukkan pendidikan multikultural, pluralisme, perdamaian dan rekonsiliasi sebagai kurikulum wajib di perguruan tinggi (PT). Artinya PT harus melakukan evaluasi terhadap kurikulum pendidikan dan menyesuaikannya dengan problem kekinian. Kedua, PT harus membentuk pusat-pusat studi yang concern pada gerakan perdamaian dan konflik sebagai sarana perguruan tinggi berperan di masyarakat baik dalam kegiatan ilmiah maupun penelitian. Ketiga, PT harus memerankan fungsi ketiga dari Tri Darma Perguruan Tinggi yakni Pengabdian masyarakat, melalui kegiatan pengabdian masyarakat dosen dan karyawan di masyarakat. Program KKN bisa digunakan sebagai media pembelajaran masyarakat dan mahasiswa untuk gerakan penyadaran perdamaian dan konflik. Darma ketiga dari Tridarma PT yang dilaksanakan mahasiswa ini lebih mudah dilakukan akan lebih mengenai sasaran (masyarakat) karena lepas dari aspek-aspek politik dan kepentingan.
Keempat, mahasiswa melalui media kampus (Pers Mahasiswa) melakukan gerakan sosial dan penguatan terhadap peran mahasiswa dalam isu perdamaian dan rekonsiliasi. Cukup disadari bahwa pers kampus sedang mengalami kesulitan untuk membentuk isu strategis yang fundamental untuk dibawa dalam ranah pergerakan, isu pluralisme dan konflik barangkali bisa menjadi salah satu perjuangan pers kampus. Kelima, melalui Presiden Mahasiswa (BEM), BLM, UKM, HMJ dll, mahasiswa harus terlibat secara langsung dalam diskursus publik dan masyarakat dalam melakukan penyadaran kembali atas potensi konflik dan perdamaian.
Keenam, dosen di PT seharusnya melakukan penelitian sosial yang berhubungan dengan upaya penyadaran Indonesia yang berbasis multikultural. Ketujuh, PT harus punya road map baru yang mewadahi atau mengakomodasi kegiatan penelitian yang dilakukan oleh PT maupun dosen dalam bidang konflik dan pluralisme. Road map ini akan menjadi  panduan bagi dosen bahwa penelitian yang dilakukan tidak hanya selalu berkutat pada rumpun bidang ilmu atau program studi. Kedelapan, Dirjen Dikti harus memberikan dukungan program dan arahan dana yang nyata yang bisa memberikan daya dukung kegiatan mahasiswa, dosen dan PT dalam mengembangkan gerakan dan penyadaran bersama. Penelitian dan program  bidang multikultural, pluralisme, perdamaian dan rekonsiliasi sudah semestinya menjadi salah satu bidang dalam penelitian strategis nasional.
Kita bisa merasakan bahwa konsep pager mangkok luwih kuat timbang pager tembok, hanyalah akan menjadi kata-kata semu tanpa makna. Kita masih merasakan sekat-sekat perbedaan itu dengan rasa “permusuhan” bukan “penerimaan“. Apa yang bangsa ini bisa raih di masa depan hanya bisa dan terjadi dengan baik, jika pendidikan berperan secara nyata dalam kehidupan anak bangsa. Karena anak bangsa saat ini, yang sedang(akan) belajar multikulturalisme, pluralisme, perdamaian dan rekonsiliasi akan menyemai peri kehidupan kebangsaan yang berbeda dengan saat ini.
Saya jadi ingat ungkapan Walikota Surakarta Jokowi. Bahwa Solo saat ini adalah Solo masa lalu. Bagaimana Solo dan bangsa ini di masa depan  sesungguhnya akan ditentukan apa yang kita kerjakan saat ini. Wong nandur kuwi bakal ngunduh, tinggal kita akan menanam apa? Dalam perspektif psikologi modern, dikatakan bahwa masyarakat bisa diubah dengan rekayasa secara sadar, yakni dengan blue sprint yang disadari bersama dan dijalankan bersama, salah satunya sudah barang tentu melalui rekayasa sadar di bidang pendidikan.
Sebagai kata akhir, mengatasi konflik tidak cukup dengan pendekatan strategis dan memadamkan api (konflik). Namun merupakan proses jangka panjang (pendidikan) yang merefleksikan upaya terus menerus untuk menyadarkan masyarakat hakikat  perbedaan, toleransi, pluralisme dan perdamaian. (***)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar