Selasa, 12 Juli 2011

NILAI UN DAN MUTU PENDIDIKAN

Tuntutan peningkatan mutu suatu produk atau layanan jasa termasuk pendidikan oleh pelanggan terus terus menerus berkembang dan meningkat dari waktu ke waktu, dari tahun ke tahun. Masyarakat semakin cerdas dalam memilih lembaga pendidikan, mereka dapat membedakan lembaga pendidikan/sekolah yang berkualitas dan kurang berkualitas. Oleh karena itu, penyelenggara/pengelola sekolah/madrasah atau lembaga pendidikan tidak bisa menyelenggarakan pendidikan asal jadi dan statis tanpa perbaikan berkesinambungan memenuhi tuntutan dan kebutuhan masyarakat. Tanggung jawab peningkatan mutu dan budaya mutu sekolah ini merupakan tanggung jawab bersama pemerintah, sekolah, pengguna dan stakeholder terkait.

Disisi lain, pemerintah telah mengambil  kebijakan desentralisasi pendidikan,   Kebijakan desentralisasi pendidikan merupakan strategi pemberdayaan masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan pendidikan nasional. Melalui kebijakan desentralisasi ini diharapkan akan dapat mempercepat usaha peningkatan pemerataan, perluasan akses, peningkatan mutu dan relevansi pendidikan dengan kebutuhan pembangunan. Di sisi lain, secara konseptual, pemberdayaan akan dapat berjalan efektif jika masyarakat yang menerima limpahan kewenangan telah memiliki kemauan dan kemampuan untuk merealisasikan kewenangan yang dimiliki. Dalam usaha percepatan kesiapan, akselerasi kemauan dan kemampuan untuk melaksanakan limpahan kewenangan ini, salah satu strategi yang dipandang penting untuk dimiliki bersama adalah standar mutu pendidikan.
Jika pemerintah konsisten, maka standar mutu pendidikan dalam perspektif desentralisasi pendidikan tidak bertumpu pada standar nilai Ujian Nasional (UN), namun fokus utama adalah manajemen mutu terpadu yang konsisten pada upaya menciptakan kepuasan pelanggan. Secara faktual jika siswa lulus dari sekolah dengan nilai UN tinggi namun tidak bisa diserap oleh user/pelanggan eksternal, maka nilai UN tidak lagi memberikan bobot “relevansi“-nya.
Mutu dalam konsep Deming adalah kesesuaian dengan kebutuhan pasar. Dalam konsep Deming, pendidikan yang bermutu adalah pendidikan yang dapat menghasilkan keluaran, baik pelayanan dan lulusan yang sesuai kebutuhan atau harapan pelanggan (pasar)nya. Menurut Goetsch dan Davis pelanggan internal maupun eksternal merupakan driver. Pelanggan eksternal menentukan kualitas produk atau jasa yang disampaikan kepada mereka, sedangkan pelanggan internal berperan besar dalam menentukan kualitas tenaga kerja, proses dan lingkungan yang berhubungan dengan produk atau jasa.
Menurut Crosby mutu adalah sesuai yang disyaratkan atau distandarkan (Conformance to requirement), yaitu sesuai dengan standar mutu yang telah ditentukan, baik inputnya, prosesnya maupun outputnya. Oleh karena itu, mutu pendidikan yang diselenggarakan sekolah dituntut untuk memiliki baku.standar mutu pendidikan.
Konsistensi kebijakan mutu dan desentralisasi pendidikan dapat dilakukan secara bersama-sama, pertama, mensinergikan secara gradual perubahan bobot nilai UN dan Ujian sekolah. Bobot peningkatan mutu ditandai dengan pergeseran pembobotan, dari Ujian Sekolah 40 : dan nilai Ujian Nasional 60, ke perbandingan50 : 50, selanjutnya 60 : 40, dan atau pada akhirnya tanpa diperlukan UN lagi bagi sekolah “tertentu” yang dianggap telah memiliki standar mutu dan  bersifat otonom.  Kedua, fokus pada upaya penjaminan mutu internal sekolah, pemerintah lebih fokus untuk memberikan penguatan (empowering) terhadap unit pelaksana penjaminan mutu di Sekolah, saat ini terasa sekali bahwa guru dan  stakeholder sekolah masih belum menguasai konsep dan implementasi penjaminan mutu eksternal. Ketiga, pemerintah fokus pada upaya memfasilitasi sekolah untuk meraih penjaminan mutu eksternal (ISO dll), saat ini bisa dilihat hanya sekolah yang memiliki cukup “dana” yang berani mengajukan penjaminan mutu eksternal, selain sulit dan butuh modal, sekolah juga mengalami ketidakyakinan bisa menerapkan TQM  / ISO secara konsisten. Fasilitasi dana (hibah) pemerintah dan supervisi untuk meraih penjaminan mutu akan memberikan percepatan mutu sekolah. Keempat, problem teknis UN nasional adalah aspek “kecurangan” yang dilakukan pada saat pelaksanaan UN, maupun nilai ujian sekolah, tidak dapat dipungkiri bahwa isu sekolah melakukan “mark up” nilai siswa agar bisa mendongkrak nilai UN dianggap akan merusak dimensi mutu pembelajaran. Kelima, perubahan kebijakan siswa tidak lulus, selama ini siswa tidak lulus UN harus keluar sekolah, tinggal mengikuti UN tahun berikutnya atau terpaksa mengikuti ujian paket C, mengapa dinas pendidikan tidak melakukan regrupinng  kelas dari berbagai sekolah bagi siswa yang belum lulus, agar tidak kehilangan motivasi belajar ? Keenam,  aspek prasarana dan prasarana, keadilan aspek sarana dan prasarana dari berbagai sekolah dirasa belum terpenuhi dengan, hak ini tidak hanya semata aspek sekolah negeri dan swasta, namun sekolah negeri dan negeri. Berita runtuhnya atap sekolah, tembok sekolah, dll menunjukan bahwa standar sarana minimal belum bisa dipenuhi.  Ketujuh, kompetensi guru, problem utama kompetensi guru tidak terletak pada labelisasi sertifikasi guru, namun lebih luas lagi adalah bagaimana meningkatkan kinerja dan mendorong guru mau meningkatkan kualitas dirinya secara periodik sesuai dengan perkembangan pembelajaran dan teknologi yang senantiasa terus berkembang. Kedelapan, Peningkatan daya saing, perlu dikembangkan pendidikan kecakapan hidup yang harus dimulai sejak pendidikan dasar sda PT, ini merupakan salah satu kegiatan strategis dalam peningkatan mutu dan relevansi yang konsepnya diselaraskan dengan kebutuhan peserta didik, terutama kebutuhan pasar kerja. Kesembilan, peningkatan partisipasi masyarakat dan stakeholder terkait dalam pengambilan kebijakan pendidikan, karena mutu dipandang sebagai keyakinan pelaksana program sebagai pemangku kepentingan internal dan juga pemangku kepentingan eksternal. Jadi, semua pemangku kepentingan, baik internal maupun eksternal harus terlibat aktif dalam pengembangan instrumen pengukuran mutu dan daya saing. Kesepuluh, peningkatan kuantitas dan kualitas informasi, pelibatan media dan upaya menyajikan informasi dan  perkembangan pendidikan mutlak diperlukan untuk memberikan gambaran sebenarnya capaian kinerja dan indikator yang telah dicapai. Pelibatan media sebagai mitra strategis  harus menjadi prioritas, termasuk upaya membangun isu bersama untuk mendukung dunia pendidikan. Sebagai contoh bias informasi sekolah gratis.
Alternatif fokus masalah tersebut hakekatnya bukan berarti belum dilaksanakan oleh pihak yang berkepentingan, namun demikian telah terjadi gap (jarak) yang signifikan antara apa yang diinginkan dengan apa yang telah dicapai. Fokus dan konsistensi kebijakan diharapkan dapat mengurungi gap yang timbul.    
    

Tidak ada komentar:

Posting Komentar