Minggu, 12 April 2015

NETRALITAS ASN PASCA PILKADA

Oleh : Muladi Wibowo
Anggota Panwas Kab. Sukoharjo dan Dosen UNIBA Surakarta

Pelantikan Kepala Daerah  serentak  hasil Pilkada serentak tahun 2015 menandai era baru tata kelola birokrasi pemerintah daerah, sebanyak 17 dari 21 kepada Daerah hasil pilkada di Jawa Tengah di lantik bersama oleh Gubernur Jawa Tengah pada tanggal 17 Februari 2016 lalu. Kemeriahan pelantikan didukung diselenggarakannya pesta rakyat di simpang lima Jawa Tengah, sebagai satu bentuk konsolidasi budaya dan politik. 

Dalam pelaksanaan Pilkada serentak walau sudah diatur larangan melibatkan Aparatur Sipil Negara dalam kegiatan dukung mendukung dan kampanye, tetap saja terdapat “oknum” ASN terlihat mendukung baik langsung maupun tidak langsung terhadap paslon, utamanya petahana.  Menyadari pentingnya netralitas ASN, Pemerintah melalui Menteri PAN-RB mengeluarkan surat edaran  nomor: B/2355/M.PANRB/07/2015 tanggal 22 Juli 2015 tentang Netralitas ASN dan Larangan Penggunaan Aset Pemerintah dalam Pilkada Serentak.  Bahkan  Gubernur Jateng lebih dulu mengeluarkan Surat edaran nomor : 800/05885/2015, tanggal 7 Juli 2015, tentang Netralitas PNS dalam Pilkada. Surat edaran ini berlanjut menjadi surat edaran pula di Pemerintah Daerah, namun dilapangan masih sedikit pelanggaran ASN dalam pilkada yang diberikan sanksi, bahkan tidak jarang pejabat yang diadukan ke ASN karena diduga tidak netral tetap saja tidak menjadi dasar pertimbangan faktual dalam pengangkatan pejabat.
Pasca pelantikan kepala daerah, isu netralitasi ASN kembali mengemuka, utamanya kebijakan dalam pergantian pejabat, padahal  UU No. 5  tahun 2015 tentang Aparatur Sipil Negara jelas diatur dengan tegas bahwa ASN sebagai profesi berlandaskan pada prinsip nilai dasar yakni :Pasal 4 UU ASN ayat  d : menjalankan tugas secara profesional dan tidak berfihak. Lebih jelasnya lagi Pasal 2 UU ASN menyatakan : penyelengaraan kebijakan dan manajemen ASN berdasarkan asas : kepastian hukum, profesionalitas, proporsionalitas, keterpaduan, delegasi, netralitas, akuntabilitas, efektif dan efisien, keterbukaan, nondiskriminasi, persatuan dan kesatuan, keadilan dan kesetaraaan dan kesejahteraan.
Disadari bahwa birokrasi pemerintah dibentuk untuk mengemban tiga fungsi utama, yaitu pelayanan publik, pelaksanaan pembangunan, dan perlindungan masyarakat. Sebagai unsur aparatur negara, abdi negara, dan abdi masyarakat, seorang PNS yang duduk dalam birokrasi pemerintah dalam menjalankan tiga fungsi itu harus bersifat netral dan tidak diskriminatif. Di Jawa Tengah dari 21 Kabupaten terdapat  12 kabupaten/kota yang petahananya maju lagi dalam pilkada dan di Solo raya petahana yang terpilih kembali Kota Surakarta, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Boyolali.  Kepala daerah yang terpilih, utamanya petahana yang berkuasa lagi sangat berpotensi melakukan pergantian pejabat baik dalam rangka balas budi maupun sebab lain atas alasan mempercepat realisasi janji kampanye dan kinerja pemerintahan.
Enam bulan sejak dilantik, gubernur, bupati, dan wali kota dilarang mengganti pejabat, hal tersebut diatur dalam ayat (3) Pasal 162 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), yang menyebutkan “  Gubernur, bupati, atau wali kota dilarang melakukan pergantian pejabat  di lingkungan pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota  dalam jangka waktu 6 (enam) bulan  terhitung sejak tanggal pelantikan.”  Logikanya setiap pejabat pemerintah harus diberikan kesempatan yang sama untuk menunjukan kinerjanya dan minimal dalam periode enam bulan kepala daerah dapat mengevaluasi lebih dulu kinerja mereka secara kritis. Jika setelah enam bulan, kepala daerah tetap melakukan penggantian pejabat, kepala daerah harus mengikuti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara di antaranya melalui perekrutan terbuka.
Secara politis praktek yang berlaku selama ini, kepala daerah berpotensi mengganti pejabat lama dengan orang-orang dekatnya tak lama setelah pelantikannya sebagai kepala daerah. Penggantian yang terlalu dekat dengan pelantikan patut diduga memiliki muatan politik, balas budi, dan karena faktor dukung mendukung dukung karena boleh jadi dianggap berjasa membantu selama kampanye hingga pemilihan.
Namun jika merujuk ayat (1) Pasal 116 UU No 5/2014, tentang ASN sesungguhnya diatur lebih tegas yakni Pejabat Pembina Kepegawaian (Kepala daerah), dilarang mengganti pejabat pimpinan tinggi selama dua tahun sejak pelantikan pejabat tersebut. " Pejabat Pembina Kepegawaian dilarang mengganti pejabat pimpinan tinggi selama 2 (dua) tahun terhitung sejak pelantikan Pejabat Pimpinan Tinggi, kecuali Pejabat Pimpinan Tinggi tersebut melanggar ketentuan perundang-udangan dan tidak lagi memenuhi syarat jabatan yang ditentukan “. Adapun jika diperlukan tetap bisa mengganti sebelum 2 (dua) tahun tetapi dengan persetujuan Presiden atau apabila pejabat melanggar UU dan tak lagi memenuhi syarat jabatannya.
Mencermati hal tersebut ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian, Pertama, Kemenpan dan Refomasi Birokrasi segera menindaklanjuti untuk pencegahan, baik berupa surat edaran maupun menunjukan sikap tegas terhadap potensi pelanggaran yang akan terjadi, mengingat ternyata terdapat di Bupati Blora telah melakukan pergantian pejabat, dan kemudian diralat kembali, hal ini menunjukan kurangnya sosialisasi dan menunjukan potensi kekurangan fahaman birokrat didaerah. Kedua, Komisi ASN(KASN) harus meningkatkan sosialisasi kebijakan baik UU Pilkada maupun UU no. 5/2014 tentang ASN, sebagai bentuk pecegahan kekhilfan  birokrasi maupun kepala daerah yang baru. Ketiga, Komisi ASN(KASN) mempersiapkan perangkat dan mekanisme yang jelas terhadap potensi aduan dan penanganan terhadap pelangaran terhadap   UU Pilkada maupun UU no. 54/2014 tentang ASN. Keempat, Netralitas ASN yang menjadi  fasilitator  dalam pilkada akan kelihatan factual setelah pergantian pejabat, sehingga pejabat yang sudah diadukan netralitasnya dalam pilkada namun tidak terbukti, harus diawasi masyarakat dan KASN, karena secara politis sangat potensial menjadi pejabat baru, Termasuk manakala ditempatkan diposisi strategis akan  berpotensi mengelola anggaran pemerintahan untuk kepentingan kelompok tertentu atau  melalui kewenangan yang dimiliki, pejabat bisa mengintervensi penggunaan dana proyek yang sedang berlangsung. Kelima,  Menyadari potensi masalah netralitas dan ketidak profesionalan ASN pasca Pilkada Panwas Sukoharjo setelah mencermati Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 dan UU No.5/2014 mengajak masyarakat  untuk berpartisipasi dalam mengawasi dan mencegah potensi pelanggaran pasca Pilkada, dalam rangka menjalankan amanah UU, sehingga potensi politisasi birokrasi semakin berkurang dalam pemilu yang akan datang. Perhatian pemerintah, media, masyarakat, NGO terhadap politisasi birokrasi dan politik balas budi akan memberikan penyadaran ASN bahwa dimasa yang akan datang  ASN bisa membangun kariernya secara professional tanpa pendekatan politis.  Hal ini mengingat amanat reformasi birokrasi  jelas menggambarkan bahwa ASN “wajib” netral dalam kegiatan politik praktis, baik dalam pemilihan calon calon legis­latif, pemilihan Presiden maupun pemilihan Kepala Daerah. Dalam prakteknya terdapat ASN yang terlibat dalam kegiatan dukung mendukung baik langsung maupun terselubung, baik terpaksa, dipaksa, dimobilisi maupun oleh keinginan sendiri. Tindakan ini jelas merugikan masyarakat dan menjauhkan dari arah reformasi birokrasi sebagaimana amanat UU ASN.
Misi utama ASN yang menjaga netralitas dan profesional sangat  dibutuhkan organisasi pemerintahan untuk mengatur, melayani dan memberdayakan masyarakat agar terwujud kesejahteraan masyarakat. Harapannya ASN tidak lagi terganggu dengan pekerjaan   pekerjaan yang diluar tugas dan tanggung jawabnya, se­hingga lebih fokus pada pekerjaannya, merasa lebih aman bekerja, punya kepas­tian masa depan dimana ter­gantung kepada hasil kerja dan prestasi kerjanya, tidak ada lagi faktor-faktor subjektif yang tidak punya standar yang pasti. ASN bisa berkom­petisi secara sehat dalam menghasilkan prestasi, sehing­ga akan muncul inovasi baru dalam menyelesaikan suatu persoalan ataupun guna me­lan­carkan penyelenggaraan pemerintahan. Oleh sebab itu gunakan gak pilih sebaik-baiknya, karena kesalahan dalam memilih seorang pemimpin adalah awal kehancuran bersama, ASN yang bertangungjawab adalah ASN untuk itu maukah kita menjadi seorang ASN yang berpikir cerdas dan mampu menempatkan dirinya dalam posisi yang pas sebagai ASN dan tidak gampang diintervesi oleh pihak lain atas. Salam Awas




Tidak ada komentar:

Posting Komentar