Ketika pertama kali penulis mendengar Istilah tanda contreng dalam Pemilu 2009, penulis mengalami sedikit kendala dalam memahami kontek kata yang dipakai. Penulis mencoba menelurusi dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) online untuk mendapatkan arti kata contreng. Lalu untuk memuaskan hasrat ingin tahu penulis mengetik “ contreng “ dan ternyata tidak ada kata apalagi arti dari kata contreng.
Penggunaan yang lazim digunakan untuk menyebutkan pengertian contreng sebagaimana yang dimaksud dalam pelaksanaan pemilu dan KPU, maka yang paling pas adalah “ centang “. KBBI mengartikan centang, sebagai tanda koreksi, bentuknya seperti huruf v atau tanda cawing. Jika diberi awalan me, tertulis mencentang, arti katanya menjadi membubuhkan coretan pada tulisan (sebagai peringatan/pilihan).
Problem utama dalam pelaksanaan pemilu adalah dalam aspek regulasi, apapun pilihan bahasa, jika telah ditetapkan oleh UU harus dilaksanakan. Hal ini menunjukan bahwa dalam perumusan UU selain membutuhkan pakar politik, juga membutuhkan ahli bahasa yang memberikan opini terhadap pilihan kata yang digunakan dalam UU. Jangan sampai karena aspek kekuasaan (semata) Negara justru turut merusak terhadap penggunaan Bahasa Indonesia.
Dalam waktu dekat akan diselenggarakan pemilihan kepala daerah, ternyata negara kembali tidak konsisten, yakni ada perbedaan regulasi pelaksanaan pemilu dan pilpres, dengan pelaksanaan pilkada. Jika pemilu dan pilpres menggunakan Undang Undang (UU) No 10 Tahun 2008 tentang pemilu DPR, DPD, dan DPRD dan UU No 42/2008 tentang Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden, maka untuk pilkada tetap menggunakan ketentuan yang diatur UU No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah. Berdasarkan rapat di KPU Pusat, sistem coblos dipilih lantaran cara mencontreng masih memerlukan regulasi baru. Sedangkan untuk melakukan perubahan regulasi harus menunggu keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu).
Belum lagi, kita menemukan titik temu antara coblos, contreng dan centang, kita telah menerima kosa kata baru dalam mekanisme pengambilan suara di pemilu, yakni e-voting. Yakni penggambilan suara melalui media elektronik. Menyadari problem penggunaan bahasa ini, penulis menyarankan kepada para pengambil kebijakan untuk kedepan dalam pengambilan keputusan perlu melibatkan ahli bahasa dalam merumuskan UU agar tidak membingungkan masyarakat.
Dalam rangka memberikan pendidikan politik yang pas dan implementasi dari komitmen Negara(pemerintah) terhadap penggunaan Bahasa Indonesia yang baik dan benar sesuai EYD (ejaan yang disempurnakan), tidak ada salahnya untuk melakukan revisi kebijakan. Artinya jangan sampai pemilu dan demokrasi justru tidak memberikan pendidikan politik yang benar serta tidak memperhatikan kaidah-kaidah berbahasa. Semoga kita mendapatkan kejelasan penggunaan bahasa dan makna dari coblos, contreng, centang dan e-voting.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar