Oleh
: Muladi Wibowo
Anggota Panwas Kab. Sukoharjo dan Dosen UNIBA Surakarta
Pelantikan Kepala Daerah
serentak hasil Pilkada serentak tahun
2015 menandai era baru tata kelola birokrasi pemerintah daerah, sebanyak 17
dari 21 kepada Daerah hasil pilkada di Jawa Tengah di lantik bersama oleh
Gubernur Jawa Tengah pada tanggal 17 Februari 2016 lalu. Kemeriahan pelantikan
didukung diselenggarakannya pesta rakyat di simpang lima Jawa Tengah, sebagai
satu bentuk konsolidasi budaya dan politik.
Dalam pelaksanaan Pilkada serentak walau sudah diatur larangan
melibatkan Aparatur Sipil Negara dalam kegiatan dukung mendukung dan kampanye,
tetap saja terdapat “oknum” ASN terlihat mendukung baik langsung maupun tidak
langsung terhadap paslon, utamanya petahana. Menyadari pentingnya netralitas ASN,
Pemerintah melalui Menteri PAN-RB mengeluarkan surat edaran nomor:
B/2355/M.PANRB/07/2015 tanggal 22 Juli 2015 tentang Netralitas ASN dan Larangan
Penggunaan Aset Pemerintah dalam Pilkada Serentak. Bahkan Gubernur
Jateng lebih dulu mengeluarkan Surat edaran nomor : 800/05885/2015, tanggal 7
Juli 2015, tentang Netralitas PNS dalam Pilkada. Surat edaran ini berlanjut
menjadi surat edaran pula di Pemerintah Daerah, namun dilapangan masih sedikit
pelanggaran ASN dalam pilkada yang diberikan sanksi, bahkan tidak jarang
pejabat yang diadukan ke ASN karena diduga tidak netral tetap saja tidak
menjadi dasar pertimbangan faktual dalam pengangkatan pejabat.
Pasca pelantikan kepala daerah, isu netralitasi ASN kembali
mengemuka, utamanya kebijakan dalam pergantian pejabat, padahal UU No. 5 tahun 2015 tentang Aparatur Sipil Negara
jelas diatur dengan tegas bahwa ASN sebagai profesi berlandaskan pada prinsip
nilai dasar yakni :Pasal 4 UU ASN ayat d
: menjalankan tugas secara profesional dan tidak berfihak.
Lebih jelasnya lagi Pasal 2 UU ASN
menyatakan : penyelengaraan kebijakan dan manajemen ASN berdasarkan asas :
kepastian hukum, profesionalitas, proporsionalitas, keterpaduan, delegasi,
netralitas, akuntabilitas, efektif dan efisien, keterbukaan, nondiskriminasi,
persatuan dan kesatuan, keadilan dan kesetaraaan dan kesejahteraan.
Disadari bahwa birokrasi pemerintah dibentuk
untuk mengemban tiga fungsi utama, yaitu pelayanan publik, pelaksanaan
pembangunan, dan perlindungan masyarakat. Sebagai unsur aparatur negara, abdi
negara, dan abdi masyarakat, seorang PNS yang duduk dalam birokrasi pemerintah
dalam menjalankan tiga fungsi itu harus bersifat netral dan tidak
diskriminatif. Di Jawa Tengah dari 21 Kabupaten terdapat 12 kabupaten/kota yang petahananya maju
lagi dalam pilkada dan di Solo raya petahana yang terpilih kembali Kota
Surakarta, Kabupaten Sukoharjo, Kabupaten Boyolali. Kepala daerah yang terpilih, utamanya petahana
yang berkuasa lagi sangat berpotensi melakukan pergantian pejabat baik dalam
rangka balas budi maupun sebab lain atas alasan mempercepat realisasi janji
kampanye dan kinerja pemerintahan.
Enam
bulan sejak dilantik, gubernur, bupati, dan wali kota dilarang mengganti
pejabat, hal tersebut diatur dalam ayat (3) Pasal 162 Undang-Undang Nomor 8
Tahun 2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), yang menyebutkan “ Gubernur, bupati, atau wali kota dilarang
melakukan pergantian pejabat di
lingkungan pemerintah daerah provinsi atau kabupaten/kota dalam jangka waktu 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal pelantikan.” Logikanya setiap pejabat pemerintah harus
diberikan kesempatan yang sama untuk menunjukan kinerjanya dan minimal dalam
periode enam bulan kepala daerah dapat mengevaluasi lebih dulu kinerja mereka
secara kritis. Jika setelah enam bulan, kepala daerah tetap melakukan
penggantian pejabat, kepala daerah harus mengikuti Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2014 tentang Aparatur Sipil Negara di antaranya melalui perekrutan terbuka.
Secara
politis praktek yang berlaku selama ini, kepala daerah berpotensi mengganti
pejabat lama dengan orang-orang dekatnya tak lama setelah pelantikannya sebagai
kepala daerah. Penggantian yang terlalu dekat dengan pelantikan patut diduga
memiliki muatan politik, balas budi, dan karena faktor dukung mendukung dukung
karena boleh jadi dianggap berjasa membantu selama kampanye hingga pemilihan.
Namun
jika merujuk ayat (1) Pasal 116 UU No 5/2014, tentang ASN sesungguhnya diatur
lebih tegas yakni Pejabat Pembina Kepegawaian (Kepala daerah), dilarang
mengganti pejabat pimpinan tinggi selama dua tahun sejak pelantikan pejabat
tersebut. " Pejabat Pembina Kepegawaian dilarang mengganti pejabat pimpinan tinggi
selama 2 (dua) tahun terhitung sejak pelantikan Pejabat Pimpinan Tinggi,
kecuali Pejabat Pimpinan Tinggi tersebut melanggar ketentuan perundang-udangan
dan tidak lagi memenuhi syarat jabatan yang ditentukan “. Adapun jika
diperlukan tetap bisa mengganti sebelum 2 (dua) tahun tetapi dengan persetujuan
Presiden atau apabila pejabat melanggar UU dan tak lagi memenuhi syarat
jabatannya.
Mencermati
hal tersebut ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian, Pertama,
Kemenpan dan Refomasi Birokrasi segera menindaklanjuti untuk pencegahan, baik
berupa surat edaran maupun menunjukan sikap tegas terhadap potensi pelanggaran
yang akan terjadi, mengingat ternyata terdapat di Bupati Blora telah melakukan
pergantian pejabat, dan kemudian diralat kembali, hal ini menunjukan kurangnya
sosialisasi dan menunjukan potensi kekurangan fahaman birokrat didaerah. Kedua,
Komisi ASN(KASN) harus meningkatkan sosialisasi kebijakan baik UU Pilkada
maupun UU no. 5/2014 tentang ASN, sebagai bentuk pecegahan kekhilfan birokrasi maupun kepala daerah yang baru. Ketiga,
Komisi ASN(KASN) mempersiapkan perangkat dan mekanisme yang jelas terhadap
potensi aduan dan penanganan terhadap pelangaran terhadap UU Pilkada maupun UU no. 54/2014 tentang
ASN. Keempat,
Netralitas ASN yang menjadi fasilitator
dalam pilkada akan kelihatan factual setelah pergantian pejabat,
sehingga pejabat yang sudah diadukan netralitasnya dalam pilkada namun tidak
terbukti, harus diawasi masyarakat dan KASN, karena secara politis sangat
potensial menjadi pejabat baru, Termasuk manakala ditempatkan diposisi
strategis akan berpotensi mengelola
anggaran pemerintahan untuk kepentingan kelompok tertentu atau melalui kewenangan yang dimiliki, pejabat bisa
mengintervensi penggunaan dana proyek yang sedang berlangsung. Kelima, Menyadari potensi masalah
netralitas dan ketidak profesionalan ASN pasca Pilkada Panwas Sukoharjo setelah
mencermati Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 2015 dan UU No.5/2014 mengajak masyarakat untuk berpartisipasi dalam mengawasi dan
mencegah potensi pelanggaran pasca Pilkada, dalam rangka menjalankan amanah UU,
sehingga potensi politisasi birokrasi semakin berkurang dalam pemilu yang akan
datang. Perhatian pemerintah, media, masyarakat, NGO terhadap politisasi
birokrasi dan politik balas budi akan memberikan penyadaran ASN bahwa dimasa
yang akan datang ASN bisa membangun
kariernya secara professional tanpa pendekatan politis. Hal ini mengingat amanat reformasi
birokrasi jelas menggambarkan bahwa ASN “wajib”
netral dalam kegiatan politik praktis, baik dalam pemilihan calon calon legislatif,
pemilihan Presiden maupun pemilihan Kepala Daerah. Dalam prakteknya terdapat
ASN yang terlibat dalam kegiatan dukung mendukung baik langsung maupun
terselubung, baik terpaksa, dipaksa, dimobilisi maupun oleh keinginan sendiri.
Tindakan ini jelas merugikan masyarakat dan menjauhkan dari arah reformasi
birokrasi sebagaimana amanat UU ASN.
Misi
utama ASN yang menjaga netralitas dan profesional sangat dibutuhkan organisasi pemerintahan untuk
mengatur, melayani dan memberdayakan masyarakat agar terwujud kesejahteraan
masyarakat. Harapannya ASN tidak lagi terganggu dengan pekerjaan
pekerjaan yang diluar tugas dan tanggung jawabnya, sehingga lebih fokus pada
pekerjaannya, merasa lebih aman bekerja, punya kepastian masa depan dimana tergantung
kepada hasil kerja dan prestasi kerjanya, tidak ada lagi faktor-faktor
subjektif yang tidak punya standar yang pasti. ASN bisa berkompetisi secara
sehat dalam menghasilkan prestasi, sehingga akan muncul inovasi baru dalam
menyelesaikan suatu persoalan ataupun guna melancarkan penyelenggaraan pemerintahan.
Oleh sebab itu gunakan gak pilih sebaik-baiknya, karena kesalahan dalam memilih
seorang pemimpin adalah awal kehancuran bersama, ASN yang bertangungjawab
adalah ASN untuk itu maukah kita menjadi seorang ASN yang berpikir cerdas dan
mampu menempatkan dirinya dalam posisi yang pas sebagai ASN dan tidak gampang
diintervesi oleh pihak lain atas. Salam Awas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar